BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Belajar adalah
membangun penafsiran diri terhadap dunia nyata melalui pengalaman-pengalaman
dan interaksi, selanjutnya belajar merupakan proses aktif untuk membangunkan
pengetahuan. Kemudian pengajaran juga suatu proses membangunkan pengetahuan dan
mengkomunikasikan pengetahuan, sementara belajar terstruktur bukan merupakan
suatu tugas, tetapi meminta peserta didik mempergunakan piranti secara aktual
dalam situasi dunia nyata dan aktif mempelajari masalah-masalah serta berpikir
reflektif. Berpikir reflektif ini menjadi dasar proses konseptualisasi di dalam
memahami dan mengaplikasikan pengalaman yang didapat pada situasi dan konteks
lain (Yamin, 2011).
Pada dasarnya, penjelasan
mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di
dalam pikiran siswa itu disebut teori belajar. Berdasarkan suatu teori belajar,
diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai
hasil belajar (Trianto, 2007). Suatu teori belajar yang lebih mementingkan
proses belajar itu sendiri adalah teori belajar kognitif. Belajar tidak hanya
melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Menurut teori kognitif,
ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang individu melalui proses
interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan
terpisah-pisah, tetap mengalir, bersambung-sambung, dan menyeluruh. Dalam
aliran kognitif, penataan kondisi bukan sebagai menyembah terjadinya belajar,
melainkan sekadar memudahkan belajar. Keaktifan individu dalam belajar menjadi
unsur yang sangat penting dan menentukan proses belajar. Munculnya cara belajar
siswa aktif, keterampilan proses, dan penekanan pada berpikir produktif
merupakan bukti bahwa teori telah merambah praktik pembelajaran (Baharuddin,
2009).
Adapun
ahli yang mengemukakan tentang teori kognitif adalah Piaget dan Vygotsky. Jean
Piaget memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara
aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui
pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Menurut teori Piaget,
setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru dilahirkan sampai
mengijak usia dewasa mengalami beberapa tahap perkembangan kognitif yang jelas.
Sedangkan Lev Vygotsky berkeyakinan bahwa perkembangan tergantung baik pada
faktor biologis dan faktor sosial juga sangat penting artinya bagi perkembangan
fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan konsep, penalaran logis, dan
pengambilan keputusan. Dengan kata lain teori Vygotsky ini lebih menekankan
pada aspek sosial dari pembelajaran.
Untuk memahami
kedua teori ini lebih lanjut, dalam Makalah ini akan dijelaskan mengenai teori-teori
tersebut serta implikasinya terhadap pembelajaran.
1.2.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah dalam Makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
teori belajar kognitif menurut Piaget?
2. Bagaimana
teori belajar kognitif menurut Vygotsky
1.3.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan
Makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan teori belajar kognitif menurut
Piaget
2. Menjelaskan teori belajar kognitif menurut
Vygotsky
1.4.
Manfaat
Penulisan
Manfaat
penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi
penulis, Makalah ini memberikan manfaat yang sangat besar, karena dengan adanya
penyusunan Makalah mengenai perkembangan kognitif peserta didik, dapat menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai teori perkembangan kognitif.
2. Bagi
pembaca, Makalah ini dapat memberikan wawasan mengenai teori perkembangan
kognitif, sehingga dapat berpartisipasi dalam meningkatkan kemampuan kognitif
yang dimilikinya
|
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Teori
Piaget
Teori perkembangan kognitif, dikembangkan oleh Jean
Piaget, seorang psikolog
Swiss yang hidup tahun 1896-1980.
Teorinya
memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan
dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan,
yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan
dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada
kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya skemata tentang
bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan
perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi
secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme.
Teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui
tindakan yang termotivasi
dengan sendirinya terhadap lingkungan (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_perkembangan_kognitif
diakses 17 Maret 2012.
Piaget memandang
perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun
sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan
interaksi-interaksi mereka (Trianto, 2007). Piaget membenarkan bahwa anak-anak
memiliki sifat bawaan ingin tahu dan terus berusaha memahami dunia di
sekitarnya. Keingin tahuan anak terhadap lingkungan yang dialaminya, ia
berusaha mengkontruksikan secara aktif refresentasi-refresentasi dibenaknya tentang
lingkungan yang dia alami (Yamin, 2011). Piaget yakin bahwa
pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya
perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman
sebaya, khususnya beragumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran
yang akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis.
|
2.1.1 Proses Terjadi Perkembangan
Pemahaman
berkembang semakin dalam dan kuat apabila selalu diuji oleh berbagai macam
pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam
otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda.
Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing
individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru akan
dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia
(Nurhadi dalam Baharudin dan wahyuni, 2010). Oleh karena itu, pada saat
memperoleh pengetahuan menurut Piaget pada saat manusia belajar, sebenarnya dua
proses dalam dirinya, yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi.
1.
Organisasi
Orang lahir
dengan kecenderungan untuk mengorganisasikan proses-proses berpikirnya menjadi
struktur-struktur psikologis. Struktur-struktur psikologis adalah sistem untuk
memahami dan berinteraksi dengan dunia. Struktur-struktur yang sederhana
terus-menerus dikombinasikan dan dikoordinasikan satu sama lain agar menjadi
struktur yang lebih canggih dan oleh sebab itu juga lebih efektif. Dengan
demikian organisasi adalah proses penataan informasi dan pengalaman menjadi
berbagai sistem atau kategori mental, yang berlangsung terus menerus (Woolfolk,
2008). Proses organisasi juga dapat diartikan sebagai proses ketika manusia
menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan
yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Melalui proses
inilah, manusia dapat memahami sebuah informasi baru yang didapatnya dengan
menyesuaikan informasi tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya,
sehingga manusia dapat mengasimilasikan atau mengakomodasikan informasi atau
pengetahuan tersebut (Baharuddin dan wahyuni, 2010).
2.
Adaptasi
Adaptasi adalah penyesuaian terhadap lingkungan. Proses
adaptasi berisi dua kegiatan yaitu menggabungkan atau mengintegrasikan
pengetahuan yang diterima oleh manusia yang disebut asimilasi dan mengubah
struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur pengetahuan baru,
sehingga akan terjadi keseimbangan (equilibrium). Dalam proses adaptasi ini,
Piaget mengemukakan empat konsep dasar (Nurhadi, 2004 dalam Baharuddin dan
Wahyuni, 2010), yaitu skemata, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan.
a.
Skemata
Piaget menggunakan skema sebagai
variabel perantara favoritnya. Skemata adalah cara mempersepsi, memahami, dan
berpikir tentang dunia (Hill, 2009). Pikiran harus memiliki suatu skema yang
berfungsi melakukan adaptasi dengan lingkungan dan menata lingkungan itu secara
intelektual.
Secara
sederhana skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau kategori yang
digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungan. Skema ini
merupakan struktur kognitif yang senantiasa berkembang dan berubah. Proses yang
menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah asimilasi dan akomodasi.
b.
Asimilasi
Proses
asimilasi adalah proses memahami pengalaman-pengalaman baru dari segi skema
yang ada (Slavin, 2008). Asimilasi pada dasarnya tidak mengubah skemata, tetapi
mempengaruhi pertumbuhan skemata. Asimilasi terjadi secara kontinu dalam
perkembangan kehidupan intelektual anak. Dengan demikian, asimilasi merupakan
proses kognitif individu dalam usahanya mengadaptasi diri dengan lingkungannya.
c. Akomodasi
Akomodasi
adalah proses pemodifikasian skema yang ada agar sesuai dengan situasi baru
(Slavin, 2008). Proses pemodifikasian tersebut menghasilkan terbentuknya skema
baru dan berubahnya skema lama. Disini tampak terjadi perubahan kualitatif,
sedangkan asimilasi terjadi perubahan kuantitatif. Jadi pada hakikatnya
akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau pengembangan skemata. Sebelum
terjadi akomodasi, dalam asimilasi ketika anak menerima stimulus yang baru,
struktur mentalnya menjadi goyah atau disebut tidak stabil. Bersamaan terjadinya
akomodasi, maka struktur mental tersebut menjadi stabil lagi. Begitu ada
stimulus baru lagi, maka struktur mentalnya akan kembali goyah dan selanjutnya
setelah terjadi akomodasi akan stabil lagi. Begitulah proses asimilasi dan
akomodasi terjadi terus-menerus dan menjadikan manusia berkembang bersama
dengan waktu dan bertambahnya pengalaman. Jadi, dalam proses asimilasi stimulus
dipaksa untuk memasuki salah satu yang cocok dalam struktur mental individu
yang bersangkutan. Sebaliknya, dalam akomodasi individu dipaksa mengubah
struktur mentalnya agar cocok dengan stimulus yang baru itu. Dengan kata lain,
asimilasi dan akomodasi secara terkoordinasi dan terintegrasi menjadi penyebab
terjadinya adaptasi intelektual dan perkembangan struktur intelektual (Baharuddin
dan Wahyuni, 2010).
d. Keseimbangan
Dalam
proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur
mental yang stabil. Stabil dalam artian adanya keseimbangan antara proses
asimilasi dan proses akomodasi. Seandainya hanya terjadi asimilasi secara
kontinu, maka yang bersangkutan hanya memiliki beberapa skemata global dan ia
tidak mampu melihat perbedaan antara berbagai hal. Sebaliknya, jika hanya
akomodasi saja yang terjadi secara kontinu, maka individu akan hanya memiliki
skemata yang kecil-kecil saja, dan mereka tidak memiliki skemata yang umum.
Individu tersebut tidak akan bisa melihat persamaan-persamaan di antara
berbagai hal. Itulah sebabnya, ada keserasian di antara asimilasi dan akomodasi
yang oleh Jean Piaget disebut dengan ekuilibrasi.
2.1.2.
Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Selain itu
menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang
baru dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat
perkembangan kognitif. Empat perkembangan kognitif tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel
2.1 Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap
|
Perkiraan Usia
|
Kemampuan-Kemampuan Utama
|
Sensorimotor
|
Lahir sampai 2 tahun
|
Terbentuknya konsep
“kepermanenan obyek” dan kemajuan gradual dari perilaku refleksif ke perilaku
yang mengarah kepada tujuan.
|
Pra-operasional
|
2 sampai 7 tahun
|
Perkembangan kemampuan
menggunakan simbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia. Pemikiran masih
egosentris dan sentrasi.
|
Operasi konkrit
|
7 sampai 11 tahun
|
Perbaikan dalam kemampuan untuk
berpikir secara logis. Kemampuan-kemampuan baru termasuk yang penggunaan
operasi-operasi yang dapat balik. Pemikiran tidak lagi sentrasi tetapi
desentrasi, dan pemecahan masalah tidak begitu dibatasi oleh keegosentrisan.
|
Operasi formal
|
11 tahun sampai dewasa
|
Pemikiran abstrak dan murni
simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat dipecahkan melalui
eksperimentasi sistematis.
|
Berdasarkan
tingkat perkembangan kognitif Piaget ini, sebagai contoh untuk peserta didik
pada rentang usia 11-15 tahun berada pada taraf perkembangan operasi formal.
Pada usia ini yang perlu dipertimbangkan adalah aspek-aspek perkembangan
remaja. Di mana remaja mengalami tahap transisi dari penggunaan operasi formal
dalam bernalar (Trianto, 2007).
1. Tahap Sensori Motor
Pada tahap sensori motor, gagasan anak
mengenai suatu benda berkembang dari periode “belum mempunyai
gagasan” sampai dengan “sudah punya gagasan akan adanya suatu benda”
Gagasan mengenai benda sangat berkaitan dengan konsep anak tentang ruang dan
waktu yang juga belum terkoordinir dengan baik. Perkembangan pikiran anak pada
tahap ini dimulai dengan reaksi refleks anak terhadap rangsangan dari luar.
Anak mengatur alam dengan indera-inderanya (sensori) dan tindakan-tindakannya
(motor).
Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan
kemampuan dan pemahaman penting dalam enam sub-tahapan:
- Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
- Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai dua belas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
- Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2. Tahap Pra Operasionall
Sedangkan tahap Pra-operasional adalah tahap antara 2 sampai 7 tahun. Periode ini disebut
Pra-operasional, karena pada umur ini individu belum mampu melaksanakan
operasi-operasi mental. Tahap Pra- operasional terdiri atas dua sub operasional
yaitu sub operasional pertama antara 2 sampai 4 tahun yang disebut pra logis
dan sub operasional kedua ialah 4 sampai 7 tahun yang disebut tahap berfikir
intuitif yaitu persepsi langsung terhadap dunia luar tetapi tanpa dinalar lebih
dulu. Pemikiran pra-operasional dapat
dibagi menjadi sub-sub tahapan, yaitu:
1. Fungsi
Simbolik
Pada tahap ini, anak meraih kemampuan untuk mewakili objek
yang tak terlihat secara mental.
2. Pemikiran
intuitif
Anak mulai mempraktekkan penaran primitif dan ingin
mengetahui jawaban dari berbagai pertanyaan.
3. Tahap Operasional Konkrit
Tahap operasional konkrit yaitu tahap 7
sampai 11 tahun. Tahap ini merupakan permulaan berfikir rasional yaitu memiliki
perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis, namun tahap operasi
konkrit tetap ditandai dengan adanya system operasi berdasarkan apa-apa yang
kelihatan nyata/ konkrit. Anak masih menerapkan logika
berfikir pada barang-barang yang konkrit, belum bersifat abstrak apalagi
hipotesis sehingga mereka masih punya kesulitan untuk memecahkan persoalan yang
mempunyai banyak variable.
4. Tahap Operasinal Formal
Tahap perkembangan kognitif yang terakhir
yaitu tahap operasional Formal yaitu antara 11 tahun keatas. Pada periode ini
anak sudah dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk
operasi-operasi yang lebih komplek atau sudah dapat berfikir abstrak. Berfikir
operasional formal memungkinkan siswa untuk mempunyai tingkah laku discovery-inquiry
yang betul-betul ilmiah, serta memungkinkan untuk mengajukan hipotesis
variabel-variabel tergantung yang mungkin ada.
Berfikir abstrak atau formal operasional ini merupakan cara berfikir yang
bertalian dengan hal-hal yang tidak langsung dapat dilihat.
2.1.3
Implikasi-Implikasi dari Pendidikan
Bagi Piaget,
belajar yang sebenarnya bukan sesuatu yang diturunkan oleh guru, melainkan sesuatu
yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Belajar merupakan sebuah proses
penyelidikan dan penemuan spontan. Karena itu, seorang guru tidak semestinya
memaksakan pengetahuan kepada anak-anak, melainkan harus menemukan
materi-materi pelajaran yang bisa menarik dan menantang anak untuk belajar dan
kemudian membiarkan mereka menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan cara
mereka sendiri. Prinsip ini menyesuaikan pendidikan dengan tahap perkembangan
anak merupakan sebuah self evident.
Tugas-tugas
perkembangan Piaget menyatakan bahwa anak-anak berkembang dan bergerak lewat
sub tahapan, tahapan dan periode dalam sebuah keteraturan. Pentahapan Piaget
atas operasi berpikir konkret memiliki nilai yang sangat potensial, dan jelas
membutuhkan pengerjaan kembali secara serius. Pentahapan Piaget terlalu
berharga untuk diabaikan dalam berbagai bidang kehidupan.
Jadi, pandangan Piaget
terhadap pendidikan adalah bahwa pendidikan hanya menyempurnakan keahlian
kognitif anak yang telah muncul sebelumnya. Sedangkan implikasi pengajaran yang
diterima adalah guru adalah fasilitator dan pembimbing bukan direktur,
memberikan dukungan kepada anak untuk mengeksplorasi dunia dan menemukan
pengetahuan.
2.2.
Teori
Vygotsky
Vygotsky
memberikan pandangan berbeda dengan Piaget terutama pandangannya tentang
pentingnya faktor sosial dalam perkembangan anak. Vygotsky memandang pentingnya
bahasa dan orang lain dalam dunia anak-anak. Meskipun Vygotsky dikenal sebagai
tokoh yang memfokuskan kepada perkembangan sosial yang disebut sebagai
sosiokultural, dia tidak mengabaikan individu atau perkembangan kognitif
individu.
Vygotsky
berpendapat bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan
kegiatan siswa melalui bahasa. “Perkembangan pengetahuan pada siswa tergantung
pada faktor biologi (memori, atensi, persepsi, stimulus-respon) dan faktor
sosial (fungsi mental yang lebih tinggi) untuk pengembangan konsep, penalaran
logis dan pengambilan keputusan” (Trianto, 2007). Teori pembelajaran Vygotsky
sangat menekankan pentingnya peran interaksi sosial bagi perkembangan belajar
seseorang.
Menurut Vygotsky,
belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama,
belajar merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses
secara psikologisial sebagai proses yang lebih tinggi dan essensinya berkaitan
dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga, lanjut Vygotsky, munculnya perilaku
seseorang adalah karena intervening kedua elemen tersebut. Pada saat seseorang
mendapatkan stimulus dari lingkungannya, ia akan menggunakan fisiknya berupa
alat inderanya untuk menangkap atau menyerap stimulus tersebut, kemudian dengan
menggunakan saraf otaknya informasi yang telah diterima tersebut diolah.
Keterlibatan alat indera dalam menyerap stimulus dan saraf otak dalam mengelola
informasi yang diperoleh merupakan proses secara fisik-psikologi sebagai elemen
dasar dalam belajar.
Pengetahuan yang telah
ada sebagai hasil dari proses elemen dasar ini akan lebih berkembang ketika
mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya mereka. Oleh karena itu,
Vygotsky sangat menekankan pentingnya peran interaksi sosial bagi perkembangan
belajar seseorang. Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang anak
dalam perkembangan zone proximal,
yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika ia melakukan perilaku
sosial. Zona ini juga dapat diartikan sebagai seorang anak yang tidak dapat
melakukan ssuatu sendiri tetapi memerlukan bantuan kelompok atau orang dewasa.
Dalam belajar, zone proximal ini
dapat dipahami sebagi selisih antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan
kelompoknya atau dengan bantuan orang dewasa. Maksimalnya perkembangan zone proximal ini tergantung pada
intensifnya interaksi antara sseorang dengan lingkungan sosial.
Menurut Vygotsky, fungsi
mental tingkat tinggi biasanya ada dalam percakapan atau komunikasi dan kerja
sama di antara individu-individu (proses
sosialisasi) sebelum akhirnya itu berada dalam diri individu (internalisasi).
Oleh karena itu, pada saat seseorang berbagi pengetahuan dengan orang lain, dan
akhirnya pengetahuan itu menjadi pengetahuan personal, disebut dengan private speech. Di sini, Vygotsky ingin
menjelaskan bahwa adanya kesadaran sebagai akhir dari sosialisasi tersebut.
Dalam belajar bahasa, misalnya ucapan pertama kita dengan orang lain adalah
bertujuan untuk komunikasi, akan tetapi sekali kita menguasainya, ucapan atau
bahasa itu akan terinternalisasi dalam diri kita dan menjadi inner speech atau private speech. Private
speech ini dapat diamati saat seorang anak sering berbicara dengan dirinya
sendiri, terutama jika ia dihadapkan dengan tugas-tugas sulit. Namun demikian,
sebagaimana studi-studi dilakukan, anak-anak yang sering menggunakan private speech ketika menghadapi
tugas-tugas yang kompleks ini lebih efektif memecahkan tugas-tugas daripada
anak-anak yang kurang menggunakan private
speech.
Ide dasar lain
dari teori belajar Vygotsky adalah scaffolding.
Scaffolding adalah memberikan
dukungan dan bantuan kepada seorang anak yang sedang pada awal belajar,
kemudian sedikit demi sedikit mengurangi dukungan atau bantuan tesebut setelah
anak mampu memecahkan problem dari tugas yang dihadapinya. Ini ditujukan agar
anak dapat belajar mandiri (Baharuddin dan Wahyuni, 2010).
Berbeda dari
Piaget, Vygotsky berpendapat bahwa perkembangan kognitif sangat terkait dengan
masukan dari orang-orang lain. Namun sama seperti Piaget, Vygotsky percaya
bahwa perolehan sistem-sistem tanda terjadi dalam urutan langkah-langkah tetap
yang sama untuk semua anak.
2.2.1
Proses Terjadi Perkembangan
2.2.1 1.Konsep Sosiokultural
Teori Vygotsky
menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak
terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan
bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan
penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti
bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana
anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah
terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran
kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan kognitif berbeda dengan
gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian.
Piaget memandang
anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual, sedangkan Vygotsky
lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam
memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan
fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar
dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tidak banyak memiliki fungsi mental
yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi
mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu
hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada
anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama pengalaman
pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur
menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia.
Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain
dalam kebudayaannya.
Vygotsky
menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level
konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah
kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas
kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan
melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma
perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal
memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak. Menurut
Vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental
berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat,
keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif
dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian
pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar
belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang
2.2.1.2.Zone Perkembangan Proksima
Zona perkembangan proksimal adalah istilah Vygotsky untuk rangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak seorang diri tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak-anak terlatih. Batas bawah dari ZPD dinamakan aktual development yaitu tingkat keahlian yang dimiliki anak yang bekerja secara mandiri. Batas atas dinamakan potensial development yaitu tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur (http://kompasiana.com/post/2011/01/01/teori-piaget-dan-vygotsky/ diakses 17 Maret 2012).
2.2.1.2.Zone Perkembangan Proksima
Zona perkembangan proksimal adalah istilah Vygotsky untuk rangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak seorang diri tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak-anak terlatih. Batas bawah dari ZPD dinamakan aktual development yaitu tingkat keahlian yang dimiliki anak yang bekerja secara mandiri. Batas atas dinamakan potensial development yaitu tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur (http://kompasiana.com/post/2011/01/01/teori-piaget-dan-vygotsky/ diakses 17 Maret 2012).
Dengan demikian, menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan jarak antara actual development dan potential development yakni daerah tingkat perkembangan sedikit di atas daerah perkembangan seseorang saat ini (Trianto, 2007). Vygotsky percaya pembelajaran terjadi ketika anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal mereka. Tugas-tugas dalam ZPT tersebut adalah sesuatu yang belum dapat dikerjakan seorang anak sendirian, tetapi masih membutuhkan bantuan teman atau orang dewasa yang lebih kompeten. Tingkat perkembangan yang dimaksud terdiri atas empat tahap seperti diperlihatkan oleh gambar berikut:
Tahapan
Perkembangan dari tahap kapasitasnya mulai berfungsi hingga masa perkembangan
lanjutan
|
Pertama, more dependence to others stage, yakni
tahapan di mana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain seperti
teman-teman sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli, dan lain-lain. Dari
sinilah muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam
mengembangkan kognisi anak secara konstruktif.
Kedua, less dependence external assistence stage,
di mana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak
lain, tetapi lebih kepada self assistance,
lebih banyak anak membantu dirinya sendiri.
Ketiga, Internalization and automatization stage,
di mana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kasadaran
akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan
dan arahan yang lebih besar dari pihak lain. Walaupun demikian, anak pada tahap
ini belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas
diri dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang.
Keempat, De-automatization stage, di mana kinerja
anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan
secara berulang-ulang, bolak-balik, recursion.
Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatisation sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya. http://bk2009.files.wordpress.com/2011/01/teori-perkembangan-kognitif-vygotsky.doc
diakses 17 Maret 2012.
Dengan demikian dalam
proses untuk mencapai pemahaman pada mulanya anak diberikan bantuan/bimbingan
untuk mencapai perkembangan yang optimal, setelah itu secara bertahap bantuan
itu dikurangi sampai akhirnya tidak diberikan sama sekali, sehingga anak secara
independen dapat memahami apa yang mereka pelajari. (http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/01/perbedaan-perkembangan-kognitif-menurut-piaget-dan-vygotsky/ diakses 17 Maret 2012)
2.2.1 3.Konsep Scaffolding
Scaffolding
adalah memberikan dukungan dan bantuan kepada seorang anak yang sedang pada
awal belajar, kemudian sedikit demi sedikit mengurangi dukungan atau bantuan
tesebut setelah anak mampu memecahkan problem dari tugas yang dihadapinya
(Baharuddin dan Wahyuni, 2010). Scaffolding
merupakan suatu istilah yang ditemukan oleh seorang ahli psikologi
perkembangan-kognitif masa kini, Jerome Bruner, yakni suatu proses yang
digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui zona perkembangan
proksimalnya (http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/28/teori-kognitif-menurut-piaget-dan-vigotsky/
di akses 17 Maret 2012).
Dialog adalah
alat yang penting dalam ZPD. Vygotsky memandang anak-anak kaya konsep tetapi
tidak sistematis, acak, dan spontan. Dalam dialog, konsep-konsep tersebut dapat
dipertemukan dengan bimbingan yang sistematis, logis, dan rasional.
2.2.1 4.Bahasa dan Pemikiran
Menurut Vygotsky,
bahasa berkembang dari interaksi sosial dengan orang lain. Vygotsky berpendapat
bahwa anak menggunakan pembicaraan bukan saja untuk komunikasi sosial, tetapi
juga untuk membantu mereka menyelesaikan tugas. Lebih jauh Vygotsky yakin bahwa
anak pada usia dini menggunakan bahasa untuk merencanakan, membimbing, dan
memonitor perilaku mereka. Pada tahap pra operasional, ketika anak belajar
menggunakan bahasa untuk menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang
sembari menyelesaikan masalah. Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional
konkret, percakapan batiniah tidak terdengar lagi.
Vygotsky
mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada awalnya berkembang terpisah dan
kemudian menyatu. Anak harus menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan
orang lain sebelum mereka dapat memfokuskan ke dalam pikiran-pikiran mereka
sendiri. Anak juga harus berkomunikasi secara eksternal dan menggunakan bahasa
untuk jangka waktu yang lama sebelum mereka membuat transisi dari kemampuan
bicara eksternal menjadi internal. (http://kompasiana.com/post/2011/01/01/teori-piaget-dan-vygotsky/
diakses 17 Maret 2012).
2.2.2
Implikasi bagi Pembelajaran
Pandangan
Vygotsky terhadap pendidikan adalah pendidikan memegang peranan penting dalam
membantu anak mempelajari alat-alat budaya. Teori-teori pendidikan Vygotsky
mempunyai dua implikasi utama
teori pembelajarannya yaitu:
1.
Menghendaki
setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling
memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efekif dalam masng-masing zone of proximal development mereka.
2.
Pendekatan
Vygotsky dalam pembelajaran dalam menekankan scaffolding. Jadi teori belajar vigotsky adalah salah satu teori
belajar sosial
sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model
pembelajaran kooperatif terjadi interaktif social yaitu interaksi antara siswa
dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep-konsep
dan pemecahan masalah.
Pengaruh
karya Vygotsky bersama Burner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith :
- Walaupun Vygotsky dan Burner telah mengusulkan peranan yang lebih penting bagi orang dewasa dalam pembelajaran anak-anak dari pada peran yang diusulkan Peaget, keduanya tidak mendukung pengajaran diaktivis diganti sepenuhnya. Sebaliknya mereka malah menyatakan walaupun anak dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoristis ini berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak.
- Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh pada perkembangan kognitif anak. Berlawanan dengan pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning) kerja kelompok secara kooperatif tampaknya mempercepat perkembangan anak.
- Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya, yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal didalam pelajaran. Foot et al, menjelaskan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bisa dengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
Komputer
juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara. Dalam
prespektif pengikut vygotsky - bruner, perintah-perintah dilayar komputer
merupakan scaffolding. Ketika anak
menggunakan perangkat lunak atau software
pendidikan, komputer menggunakan bantuan atau petunjuk scara detail seperti
yang diisyaratkan sesuai kedudukan anak dalam ZPD. Tidak dipungkiri lagi
beberapa anak dikelas lebih terampil dalam menggunakan computer sebagai tutor
bagi teman sebayanya. Dengan murid-murid yang bekerja dengan komputer guru bisa
bebas mencurahkan perhatiannya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan
dan menyiapkan scaffolding yang
sesuai bagi masing-masing anak. (http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/28/teori-kognitif-menurut-piaget-dan-vigotsky/
di akses 17 Maret 2012).
Teori
pembelajaran Vygosky juga dapat kita gunakan sebagai salah satu teori di dalam
model cooperative learning.
Menurut
Suparno (1997), pembelajaran merupakan suatu per-kembangan pengertian. Dia
membedakan adanya dua pe-ngertian pembelajaran yaitu, yang spontan dan yang
ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapati secara terus
dan pengalaman siswa didapati dalam kehidupan seharian. Pengertian ilmiah
adalah pengertian yang diperoleh di sekolah. Selanjutnya, Suparno (1997)
mengatakan kedua-dua konsep itu saling berkaitan terus menerus. Apa yang
dihadapi siswa di sekolah mempengaruhi perkembangan konsep yang diperoleh dalam
kehidupan sehari-hari dan sebaliknya.
Sumbangan
teori Vygotsky
adalah penekanan pada bakat sosio budaya dalam pembelajaran. Menurutnya,
pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of
proximal development). Zona perkembangan proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat
perkembangan seseorang pada ketika pembelajaran berlaku?
Astuty
(2000) secara terperinci, mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan “zona perkembangan proksimal” adalah jarak antara tingkat per-kembangan
sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan
sesungguhnya adalah kemampuan pemecahan masalah secara mandiri sedangkan
tingkat per-kembangan potensial adalah kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa melalui kerja sama dengan rakan sebaya yang lebih mampu.
Oleh yang demikian, maka tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melalui model
pembelajaran koperatif. Ide penting lain juga diturunkan Vygotsky ialah konsep
pemenaraan (scaffolding) (Nur 2000),
yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada siswa pada tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengambil alih tanggung jawab sekadar yang mereka mampu. Bantuan tersebut
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah
pemecahan, memberi contoh ataupun hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh
kendiri.
Dalam
teori Vygotsky dijelaskan bahwa ada hubungan secara langsung antara domain
kognitif dengan sosio budaya. Kualiti berfikir siswa dibina dan aktivitas
sosial siswa di dalam bilik darjah, dikembangkan dalam bentuk kerja
sama antara siswa dengan siswa lainnya yang lebih
mampu di bawah bimbingan orang dewasa dan guru.
Masih
menurut Vygotsky, dengan melibatkan anak berdiskusi dan berfikir (reasoning)
dalam mempelajari segala kejadian, akan mendorong anak untuk merefleksikan apa
yang telah dikatakan atau diperbuatnya. Hal ini dapat menjadi “inner speech” atau “inner dialogue”, dialog dengan dirinya sendiri. Ini proses awal
bagi anak untuk mengetahui tentang dirinya sendiri.
Selanjutnya,
dikemudian hari ia akan mampu mengevaluasi diri, menganalisis kekurangan serta
kekuatan yang dimilikinya. Dengan terbiasa melibatkan anak diskusi, akan
membantu anak untuk bisa berfikir pada tahapan yang lebih tinggi atau
meta-cognition. Proses seperti ini dapat membuatnya menjadi manusia spiritual,
yaitu manusia yang tahu siapa dirinya, dan mempunyai kesadaran bahwa dirinya
adalah bagian dari masyarakat, komunitas dan alam semesta.
http://bk2009.files.wordpress.com/2011/01/teori-perkembangan-kognitif-vygotsky.doc
diakses 17 Maret 2012.
Sedangkan implikasi
pengajaran yang diterima adalah guru berfungsi fasilitator dan pembimbing dalam
pembelajaran bukan direktur, sehingga seyogyanya membuat banyak kesempatan bagi
anak untuk belajar dengan guru dan teman sebaya yang lebih terampil.
|